HUKUM ACARA PERDATA

A. Arti Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran


peristiwa yang dikemukakan. (Riduan Syahrani, 1988:55)
Membuktikan adalah keyakinan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan. (R. Subekti, 1982:78)
Membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu:
1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis
Membuktikan disini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional
Di sini pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime
b. Kepasvtian yang didasarkan atas pertimbangan akal. Kepastian ini disebut conviction raisonance
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis:
Membuktikan dalam arti yuridis ini tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling maka membuktikan secara yuridis tidak hanya memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya. Suatu peristiwa yang tidak tergantung para tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan dan sumpah. (Sudikno Mertokusumo, 1981:101-102)

B. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR / 283 RBG mengatakan setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu kewajiban membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Dari ketentuan diatas, maka beban pembuktian harus dilakukan dengan dalil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti secara mutlak menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Dari ketentuan tersebut yang perlu dibuktikan tidak hanya peristiwanya saja, melainkan juga suatu hak.
Sebagai contoh: dalam soal warisan penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat bahwa harta warisan belum di bagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak tergugat mengatakan itu tidak benar, karena harta warisan sudah dibagi. Dalam hal ini tergugat dibebankan pembuktian bahwa harta warisan tersebut sudah di bagi. Jika penggugat dibebankan untuk membuktikan secara negatif bahwa harta warisan tersebut belum dibagi, maka akan sangat berat baginya.
Dengan kata lain kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani pembuktian. Penggugat yang menuntut suatu hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut, sedangkan tergugat yang membantah adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa atau kejadian-kejadian yang menimbulkan hak yang dituntutnya ia harus dikalahkan. Sebaliknya, jika tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran peristiwa yang menghapuskan hak yang dibantahnya maka ia harus dikalahkan.
Jadi di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan kejadian nyata harus diperhatikan secara seksama oleh hakim tersebut.

C. Hal-Hal Yang Perlu Di Buktikan
Yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara bukanlah hukumnya akan tetapi peristiwanya atau kejadian-kejadiannya. Mengenai hukumnya, tidak perlu dibuktikan karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan diterapkan baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup di tengah masyarakat.
Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan putusannya. Karena itu hakim harus melakukan kajian terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, kemudian memisahkan mana peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak penting (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.

D. Hal-Hal Yang Tidak Perlu Di Buktikan
1. Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak dan diakui oleh pihak lawan
2. Segala sesuatu yang dilihat sendiri oleh hakim di depan sidang pengadilan
3. Segala sesuatu yang dianggap diketahui oleh umum (peristiwa notoir = notoir feiten)
Menurut Asser – Anema – Verdam, dalam beberapa hal maka peristiwanya tidak perlu di buktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan karena peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal di bawah ini peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
1. Dalam hal dijatuhkan putusan Verstek, karena tergugat tidak datang maka peristiwa yang menjadi sengketa yang di muat dalam surat gugatan tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadirnya tergugat dijatuhkanlah putusan Verstek oleh hakim.
2. Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
3. Dengan telah dilakukannya sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan maka peristiwa yang menjadi sengketa yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
4. Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Sudikno Mertokusumo, 1981:99)

E. Alat-Alat Bukti
Alat-alat bukti menurut pasal 284 RBG / 164 HIR / 1866 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
1. Surat
Alat bukti tulisan atau surat diatur pada pasal 165 – 167 HIR / 282 – 305 RBG dan pasal 1867 – 1894 KUHPerdata.
Alat bukti tulisan atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang biasa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. Tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan misalnya huruf latin, huruf arab, huruf kanji dan lain sebagainya.
Alat bukti tulisan atau surat yaitu seperti akta.
Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Akta terbagi menjadi dua macam yaitu:
- Akta otentik dan
- Akta di bawah tangan
Akta otentik yaitu surat yang dibuat menurut ketentuan Undang-Undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu. (Pasal 165 HIR / 285 RBG / 1870 KUHPerdata).
Pengertian akta otentik dapat juga dilihat pada pasal 101 huruf a UU No 5 / 86 tentang peradilan tata usaha negara.
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik ialah notaris, presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, panitera pengadilan, pegawai pencatat perkawinan.
Dengan demikian akta otentik ini dibagi atas dua macam, yaitu:
- Akta otentik yang dibuat oleh pejabat (acte abibtelijk)
- Akta yang dibuat dihadapan pejabat (acte partij)
Kemudian akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.
Akta di bawah tangan yatu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya (Pasal 101 huruf b UU No 5 / 86 tentang peradilan tata usaha negara)
Dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani serta dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. (Pasal 1 stbl. 1867 No 29 / 286 (1) RBG / 1878 KUHPerdata)
Jika tanda tangan suatu akta dibawah tangan sudah diakui atau dianggap diakui menurut Undang-Undang, maka akta tersebut bagi yang menandatangani (mengakui) ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik. (Pasal 1 b ordonansi 1867 No 29 / 288 RBG / 1875 KUHPerdata)
Jika seorang tidak mengakui tulisannya atau tanda tangnnya atau jika ahli warisnya atau sekalian orang yang mendapat hak darinya menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu, maka hakim dapat memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan itu diperiksa di hadapan hakim pidana. (Pasal 290 RBG / Pasal 3 stb. 1867 No 29)
Kekuatan suatu bukti dengan surat ialah terdapat dalam surat akta asli. Jika akta yang asli itu ada, maka salinannya atau ikhtisannya hanya boleh dipercaya jika sesuai dengan akta asli, yang selalu diminta agar di perlihatkan. (Pasal 301 (1) dan (2) RBG / 188 KUHPerdata)
2. Saksi
Dalam hal ini diatur dalam pasal 168 – 172 HIR / 306 – 309 RBG / 1895 – 1912 KUHPerdata)
Keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. (Pasal 169 HIR / 306 RBG / 1905 KUHPerdata). Istilah hukumnya adalah Unus Testis Nullus Tertis artinya suatu saksi dianggap bukan saksi. Ini berarti suatu peristiwa dianggap tidak terbukti apabila hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. Supaya peristiwa itu terbukti dengan sempurna menurut hukum, keteranganseorang saksi itu harus dilengkapi dengan alat bukti lain misalnya surat, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Apabila alat bukti lain tidak ada, maka pembuktian baru dianggap sempurna jika ada dua orang saksi atau lebih. Namun demikian, meskipun ada dua orang saksi suatu peristiwa dapat dikatakan meyakinkan apabila hakim mempercayai kejujuran saksi-saksi tersebut.

3. Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh Undang-Undang atau oleh hakim ditariknya suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. (Pasal 1915 KUHPerdata)
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa berprasangka itu bukanlah sebagian alat bukti yang dijadikan alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang dan nyata misalnya karena ada peristiwa A dianggap juga ada peristiwa B kesimpulan ini dapat ditarik oleh Undang-udang sendiri atau hakim.
Ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan menurut Undang-Undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-Undang. (Pasal 1915 KUHPerdata) atau dikenal dengan istilah persangkaan hakim.
4. Pengakuan
Diatur dalam pasal 174 – 176 HIR / 311 – 313 RBG / 1923 – 1928 KUHPerdata.
Menurut R. Subekti, sebenarnya adalah tidak tepat untuk menamakan pengakuan suatu alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh salah satu pihak diakui oleh pihak lain, maka pihak yang mengajukan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakui dalil-dalil itu tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau disangkal. Malahan kalau semua dalil-dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu perselisihan.
Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim adalah merupakan bukti yang sempurna memberatkan orang yang mengucapkannya baik sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang khusus dikuasakan untuk itu.

5. Sumpah
Diatur dalam pasal 155 – 158 dan 177 HIR / 182 – 185 dan 314 RBG / 1929 – 1945 KUHPerdata).
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa dari pada Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan di hukum oleh-Nya. Jadi pada hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan peradilan. (Sudikno Mertokusumo, 1981:148-149)

Terima kasih atas waktunya untuk membaca HUKUM ACARA PERDATA ini, dengan harapan semoga artikel HUKUM ACARA PERDATA ini bermanfaat adanya. Dan mohon maaf jika pada artikel HUKUM ACARA PERDATA terdapat kesalahan atau kurang memuaskan. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke Wani pada lain kesempatan

Artikel Terkait : HUKUM ACARA PERDATA »

No comments: