TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG ANAK DIDIK

A. Makna Anak Didik dan Hakikatnya
Anak didik adalah anak (manusia terdidik) yang sedang belajar, berguru dan bersekolah


Dalam terminologi (istilah) lain disebut pelajaran atau murid. Kata murid (orang yang mau) berasal dari kata Arab (Arada-yuridu-iradah). Sekalipun istilah murid berasal dari bahasa arab, ia tidak lazim digunakan di dunia pesantren yang notabennya lembaga pendidikan Islam.
Istilah murid sebagai pedanan istilah pelajar atau anak didik hanya digunakan di negara-negara yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Melayu, seperti Indonesia dan Malaysia.
Dalam “Teacher Effectivenness Training”, Thomas Gordon menyatakan bahwa murid pada tingkat manapun adalah manusia, mereka punya banyak kesamaan dari pada perbedaan. Oleh sebab itu, guru yang efektif dapat mendasarkan saat mengajar atas teori “hubungan antar manusia”. Semua anak patah semangat bila direndahkan. Semua anak akan bereaksi bila guru menggunakan kekerasan, karena punya harga diri, melindungi diri, rasa putus asa dll. Sering sekolah tidak memandang anak sebagai “suatu kesatuan pribadi yang utuh”, melainkan atas dasar kelebihan dan kekurangan, seperti anak ini genius, rajin dll. Atau anak ini bodoh, berbudaya rendah, dll. Pandangan yang salah ini telah diteliti yang hasilnya menunjukkan bahwa anak yang mendapat cap “bodoh” bukan semata-mata disebabkan oleh anaknya sendiri tetapi terutama adalah karena kekeliruan “harapan” guru. Artinya, guru berasumsi keliru terhadap kemampuan anak yang sesungguhnya.

B. Potensi Anak: Baik (fitri) dan Buruk (dhaif)
1. Potensi Anak Yang Baik (Fitri)
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan hanif (lurus) kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Ar-Rum/30: 30), dalam hadis shahih dijelaskan yang maksudnya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tabiat atau potensi yang suci dan baik), hingga lisannya mampu berbicara dengan jelas, maka kedua orang tua (alam sekitar) Nya-lah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi (H.R. Muslim, Abu Ya’la, Tabrani, dan Baihaqi).
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa setiap anak (manusia) sejak semula (lahir) telah membawa “potensi naik” (fitri) yang harus “dikembangkan”. Potensi baik itu merupakan faktor internal atau eksogen (ajar). Prinsip ini sejalan dengan aliran Konvergensi William Stren (1971-1930), yaitu suatu aliran yang menggabungkan antara aliran Empirisme John Locke (1632-1704) dengan aliran Nativisme Arthur Shopenhauer (1768-1860). Yakni menggabungkan kegiatan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pendidik dan anak didik secara terpadu serta mengindahkan potensi anak.
Fitrah tidak sama dengan teori tabularasa John Locke, sebab menurut teori ini, anak dilahirkan dalam keadaan kosong, putih bersih yang siap diisi/ditulis oleh ajaran-ajaran. Akan tetapi, menurut konsep fitrah setiap anak yang lahir telah membawa potensi yang berupa daya-daya. Potensi aktual bila diberi pendidikan (pengembangan, pembinaan, dan bimbingan). Fitrah itu bagaikan emas atau minyak yang ada dalam perut bumi, tidak berguna bila tidak digali/diolah untuk kepentingan manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah (661-728 H), dasar ilmu pengetahuan manusia adalah fitrahnya, dengan fitrah itu manusia dapat mengetahui baik-buruk, benar-salah. Itu epistemologi ilmu fersi Ibnu Taimiyah yang sejalan dengan epistemologinya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali Ibnu Husein Babwayh Al-Qummi (w. 381 H). Al-Qummi dengan mengutip beberapa hadits, menyimpulkan bahwa pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh melalui fitrahnya.
Dua hadits di atas (foot note 14 dan 15) memberikan isyarat kuat bahwa pendidikan dalam keluarga (informal) punya peran besar dalam mempengaruhi potensi anak yang fitri.

2. Potensi Anak yang lemah (dha’if)
Meskipun anak/manusia itu berpotensi Fitri (baik), namun juga bersifat lemah dan terbatas, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepada kamu, dan manusia diciptakan bersifat lemah” (An-Nisa’/4:28). Kelemahan itu bukan merupakan kebodohan atau kejahatan, akan tetapi merupakan pintu masuknya kebodohan/kejahatan tersebut.
Maka untuk membuat fitrah (potensi baik dan benar) itu aktual, anak manusia tidak boleh tidak harus mencari pendidikan dalam arti luas (bimbingan, pengarahan, pengembangan dan lain-lain); artinya setiap anak manusia yang ingin mengaktualisasikan fitrahnya harus menyertakan orang lain dan Tuhan (do’a dll).
Perintah mengikuti ajaran agama Hanif (al-Rum/30: 30) merupakan fitrah manusia, sebab manusia itu dha’if, agama tauhid, menurut ayat itu, adalah fitrah juga. “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri” (Yunus/10:90) sayang terlambat. Sebaliknya, agama yang tidak fitrah akan ditinggalkan pemeluknya, baik cepat maupun lambat.


Terima kasih atas waktunya untuk membaca TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG ANAK DIDIK ini, dengan harapan semoga artikel TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG ANAK DIDIK ini bermanfaat adanya. Dan mohon maaf jika pada artikel TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG ANAK DIDIK terdapat kesalahan atau kurang memuaskan. Jangan lupa untuk berkunjung kembali ke Wani pada lain kesempatan

Artikel Terkait : TINJAUAN FILOSOFIS TENTANG ANAK DIDIK » Makalah

No comments: